Rabu, 18 Januari 2012

SUKU MANDAR (SULAWESI SELATAN)


SUKU MANDAR
Suku Mandar adalah satu-satunya suku bahari di Nusantara yang secara geografis berhadapan langsung dengan laut dalam. Lautan dalam merupakan halaman rumah-rumah mereka. Begitu mereka bangun dari tidur, mereka akan disapa oleh gemuruh air laut dan dibelai oleh angin laut. Kondisi alam mengajarkan kepada masyarakat Mandar bagaimana beradaptasi untuk mempertahankan hidup (meminjam bahasa Durkheim, struggle for survival), dan membangun kebudayaannya. Mandar adalah nama suatu suku (etnis) bangsa dan nama budaya dalam Lembaga Kebudayaan Nasional dan Lembaga Pengkajian Budaya Nasional. Diistilahkan sebagai etnis karena Mandar merupakan salah satu kelompok etnis dari empat suku utama yang mendiami kawasan propinsi Sulawesi Selatan yakni etnis Makassar (Mangkasara), etnis Bugis (Ogi), etnis Toraja (Toraya) pengelompokan ini dimasukkan dalam suatu kelompok pengkajian yang disebut “Lagaligologi”.

1.Unsur Budaya Suku Mandar
A.Perkembangan Bahasa
Seperti suku-suku atau etnis lainnya yang ada pada suatu bangsa termasuk yang ada di Indonesia, dipahami bahwa bahasa merupakan identitas yang menunjukkan suatu bangsa, etnis atau suku tersebut. Tak pelak Mandar sebagai sebuah etnis atau bahkan yang lebih besar dari itu, sebuah suku bangsa juga berlaku hal yang serupa. Artinya Mandar juga dapat dipahami dan dimengerti bahkan dikenal melalui bahasanya.
Konon masih sama dengan etnis lainnya di Indo­nesia, bahasa Mandar juga berasal dari rumpun bahasa Malayu Polinesia atau bahasa Nusantara atau yang lebih acap disebut sebagai bahasa ibunya orang Indo­nesia. Oleh Esser (1938) disebutkan, bahwa mandfarsche dialecten yang awal penggunaannya berangkat dari daerah Binuang bagian utara Polewali hingga wilayah Mamuju Utara daerah Karossa.
Walau hingga kini tidak jelas benar sejak kapan penggunaan bahasa Mandar dalam keseharian orang Mandar. Namun dapat diduga, bahwa penggunaan bahasa Mandar sendiri bersamaan lahirnya orang atau manusia pertama yang ada di tanah Mandar. Hal yang lalu dapat dijadikan rujukan adalah adanya bahasa Mandar yang telah digunakan dalam lontar Mandar sekitar abad ke-15 M. Ibrahim Abas (1999).
Sehingga kuat dugaan bahwa bahasa yang digunakan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan masa lalu di daerah Mandar telah menggunakan bahasa Mandar, yang untuk itu dapat dicermati dalam beberapa lontar yang terbit pada masa-masa pemerintahan kerajaan Mandar.
Sedang menilik area penyebaran bahasa Mandar sendiri, hingga kini masih dengan mudah bisa di temui penggunaannya di beberapa daerah di Mandar seperti, Polmas, Mamasa, Majene, Mamuju dan Mamuju Utara. Kendati demikian di beberapa tempat atau daerah di Mandar juga telah menggunakan bahasa lain, seperti untuk Polmas di daerah Polewali juga dapat ditemui penggunaan bahasa Bugis, sebagai bahasa Ibu dari etnis Bugis yang berdiam dan telah menjadi to Mandar (orang Mandar-pen) di wilayah Mandar. Begitu pula di Mamasa, menggunakan bahasa Mamasa, sebagai bahasa mereka yang memang di dalamnya banyak ditemui perbedaannya dengan bahasa Mandar. Sementara di daerah Wonomulyo, juga dapat ditemui banyak masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa, utamanya etnis Jawa yang tinggal dan juga telah menjadi to Mandar di daerah tersebut. Kecuali di beberapa tempat di Mandar, seperti Mamasa. Selain daerah Mandar-atau kini wilayah Provinsi Sulawesi Barat-tersebut, bahasa Mandar juga dapat ditemukan penggunaannya di komunitas masyarakat di daerah Ujung Lero Kabupaten Pinrang dan daerah Tuppa Biring.
B.Perkembangan Religi (agama)                                                  
Pada umumnya dewasa ini suku Mandar adalah penganut agama Islam yang setia tetapi dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat lepas dari kepercayaan-kepercayaan seperti pemali, larangan-larangan dan perbuatan magis seperti pemakaian jimat atau benda-benda keramat dan sesaji.
Didaerah pedalaman seperti di pegunungan Pitu Ulunna Salu sebelum Islam masuk, religi budaya yang dikenal ketika itu adalah adat Mappurondo yang diterjemahkan sebagai bepeganng pada falsafah Pemali Appa Randanna.
Sedangkan untuk wilayah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga sendiri, religi budayanya dapat ditemui pada peningglaanya yang berupa ritual dan upacara-upacara adapt yang tampaknya bisa dijadikan patokan bahwa ia besumber dari religi budaya dan kepercayaan masa lalunya. Seperti ritual Mappasoro (menghanyutkan sesaji di sungai) atau Mattula bala’ (menyiapkan sesjai untuk menolak musibah) dan lain sebagainya yang diyakini akan membawa manfaat kepada masyarakat yang melakukannya. Dari sini jelas tampak betapa symbol-simbol budaya itu berangkat dari religi budaya, yang untuk itu tidak dikenal dalam Islam.

C. Upacara keagamaan dan Adat
a. Akikah
Bagi keluarga yang mampu, akikah sebaiknya dilakukan sedini mungkin misalnya hari ke-7, ke-14, dan ke-21. Pada upacara ini ada 2 tata-cara pokok yaitu : pemotongan hewan dan pembacaan barzanji. Kemudian beberapa cara yang sering dikaitkan yaitu: pemberian/peresmian nama dan pengguntingan rambut.
Persiapan-persiapan yang diperlukan pada upacara ini antara lain kue, songkol, pisang berbagai jenis. Kemudian alat-alat antara lain : gunting, kelapa muda yang telh dilubangi, patties atau lilin , dan dupa.
1. Pemotongan Hewan
Bagi anak laki-laki dianjurkan dipotongkan 2 ekor kambing dewasa, jantan dan sehat, sedangakan anak wanita dianjurkan seekor, juga dewasa, jantan dan sehat.
Secara tradisional pemotongan ini dimaksudkan sebagai syukuran, selamatan dan penolak bala dari gangguan roh-roh jahat.
2. Pembacaan Barzanji.
Pada saat dupa dan lilin dibakar, barzanji mulai dibaca, anak yang telah diakikah ditimbang oleh dukun beranak atau ibunya atau siapa saja yang ditunjuk di sekitar pembaca barzanji. Saat bacaan tiba pada kalimat “ASYARAKAL BADRU ALAINA”, pembaca barzanji, ibu yang memangku si bayi diangkat ke tengah-tengah para penggunting yang telah diundang untuk acara tersebut. Ada dua cara untuk melakukan pengguntingan rambut yaitu secara “aturan adat” dan secara “biasa” atau “umum” atau “bebas”.
  1.  
    1. Secara aturan adat dilakukan pengguntingan rambut menurut Anggota Hadat. Untuk Kerajaan Pamboang urutannya sebagai berikut :
  1.  
    1. Kadhi Pamboang
    2. Maradia (bisa Maradia Matoa atau Maradia Malolo)
    3. Pabicara Bonde
    4. Pabicara Adolang
    5. Pabicara Lalampanua
    6. Suro Puang di Tawaro
    7. Suro Puang di Polo (ng).
  1.  
    1. Secara umum bisa dilakukan sebagai berikut:
a. Kadhi atau Imam
b. Pejabat
c. Orang yana banyak anak dan berhasil mendidiknya
d. Orang berilmu pengetahuan
e. Orang kaya
f. Pemuka masyarakat yang disegani (berani)
g. Pemuka masyarakat yang dukun.
Setelah rambut bayi tergunting, guntingannya dimasukkan ke dalam kelapa muda yang sudah dilubangi, langsung oleh masing-masing para penggunting. Penggunaan kelapa muda pada acara ini, dimaksudkan agar si anak tetap kelihatan bersih dan tahan serangan penyakit.
Jika kita perhatikan acara pengguntingan rambut ini terlihat ada maksud-maksud tertentu dan rahasia dari orang tua si bayi, bahwa dengan pengguntingan rambut ini diharapkan si bayi kelak bernasib sama dengan para penggunting rambut pada acara ini.
Sementara pengguntingan rambut pembacaan barzanji jaln terus dan sesudah pengguntingan pembaca barzanji duduk bersama seluruh hadirin.
Sesudah pembacaan barzani konsumsi khusus berupa songkol, cucur, telur, dan pisang berbagai macam dibagikan kepada para segenap peserta. Khusus untuk pembagian Kadhi, Raja dan anggota Hadat diantarkan langsung ke rumahnya.
Kemudian pada acara istirahat kambing sembelihan untuk akikah dimakan bersama. Sesudah itu maka selesailah upacara akikah dan seluruh rangkaiannya.
b. Niuri
Niuri dalam masyarakat Mandar adalah upaya penyelamatan lahirnya seorang bayi. Bagi wanita utamanya yang baru pertama kalinya hamil sudah menjadi tradisi (kebiasaan) diadakan acara niuri dalam masa kehamilan 7 sampai 8 bulan.
Untuk melaksanakan acara ini, yang lebih dahulu disiapkan yaitu : Kue-kue sebanyak mungkin, ayam betina satu ekor, tempayan berisi air, kayu api, beras dan lain-lain. Tata cara melaksanakan sebagai berikut :
1. Wanita yang akan niuri duduk bersanding dengan suaminya, keduanya dalam busana tradisional lengkap. Wanita boleh memakai perhiasan emas seperti pattu’du boleh juga memakai boko atau pasangan berwarna biru atau putih. Keduanya disuruh memilih kue-kue yang muncul diseleranya masing-masing. Jika yang dipilih yang bundar misalnya : Onde-onde, gogos dan semacamnya maka diperkirakan akan lahir bayi laki-laki. Jika yang gepeng-gepeng misalnya : Pupu, kue lapis, katiri mandi dan semacamnya, diharapkan akan lahir seorang bayi wanita.
2. Sesudah makan bersama, istilah Mandarnya “nipande mangidang” orang yang akan niuri dibaringkan oleh “sando peana” atau “dukun beranak” dihamparan kasur di lantai rumah. Setelah dibaringkan si dukun menaburkan beras di bagian dahi dan perut to-niuri. Kemudian ayam yang telah tersedia yang sehat dan tidak cacat di suruh mencocot beras-beras yang bertaburan tadi sampai habis.
3. Masih dalam posisi berbaring, si dukun mengambil piring yang berisi beras ketan, telur dan lilin yang sedang menyala diletakkan sejenak di atas perut lalu ke bagian dahi, kemudian diayun-ayunkan beberapa kali mulai dari kepala sampai ke kaki. Sesudah itu ayam pencotot tadi dilambai-lambaikan ke sekujur tubuh toniuri sebanyak 3 atau 5 atau 7 kali. Sesudah itu dilepaskan melalui pintu depan dan toniuri di bangunkan.
4. Selesai tahap ke-3,toniuri diantar ke pintu depan rumah kemudian diambil kayu-api yang masih menyala, lalu dipegang diatas kepala. Setelah itu diambil air yang telah dicampur dengan burewe tadu, bagot tuo, ribu-ribu, daun atawang dan daun alinduang, dan dengan timbah khusus disiramkan di atas kayu api langsung ke kepala dan membasahi seluruh tubuh serta memadamkan api yang masih menyala di kayu api. Sesudah itu secepatnya kayu api yang sudah padam dibuang ke tanah. Seluruh busana yang dikenakan oleh toniuri diserahkan kepada si dukun untuk dimiliki. Dalam istilah Mandarnya disebut “nilullus”. Menimba air cukup 14 kali saja.
Sementara seluruh tahap-tahap peurian berlangsung bagi keturunan bangsawan yang ada darah Bugis-Makasarnya, alat musik siasia dibunyikan terus dengan lagu-lagu bersifat doa yang contohnya sebagai berikut :
“   Alai sipa’uwaimmu
Pidei sipa’ apimmu
Tallammo’o liwang
Muammung pura beremu”
Artinya :
“   Ambil sifat airmu (gampang mengalir)
Padamkan sifat apimu (panas)
Keluarlah engkau
Membawa takdirmu”.
“    Uwai penjarianmu
Uwai pessungammu
Uwai pellosormu
Uwai pellene’mu
Uwai peoromu
Uwai pellambamu
Uwai atuo-tuoammu”.
Artinya :
“   Engkau tercipta dari air
Keluarlah merangkak, duduk dan berjalan seperti lancarnya air mengalir.
Murahlah rezekimu an dingin seperti air”
Ada beberapa maksud-maksud tersembunyi dalam upacara niuri ini yaitu :
1. Menimba air 14 kali, dimaksudkan agar si bayi setelah dewasa, memiliki wajah seperti bulan purnama
2. Bangot tuo yaitu semacam tumbuh-tumbuh biar dimana saja gampang tumbuh dan tumbuh subur. Bangong artinya bangun dan tuo artinya hidup. Dimaksudkan agar si bayi sampai dewasa tetap sehat bugar.
3. Ribu-ribu juga semacam tumbuh-tumbuhan yang bunganya lebih banyak dari pada daunnya. Ini dimaksudkan agar si bayi setelah dewasa menjadi orang kaya.
4. Daun atawang, dimaksudkan agar si bayi tetap terhindar dari penyakit.
c.   Pappatadayang
Pappatadayang artinya pelantikan yang akan dibahas pada makalah  ini adalah pelantikan seorang Raja yang mengambil sempel di Kerajaan Pamboang, yang pasti caranya sama dengan seluruh kerajaan di Pitu “Ba’ba Binanga Mandar.
Pada upacara seperti ini dikaitkan yaitu memanna atau mangaru dalam beberapa macam tingkatan. Sehubungan dengan pelantikan ini disiapkan Payung Kerjaan untuk tempat berpegang Raja bersama seorang anggota Hadat yang mewakili anggota Hadat lainnya untuk melakukan pelantikan, gendang an keke.
Untuk Kerajaan Pamboang tata-caranya sebagai berikut :
1. Raja yang akan dilantik berpegang ke Payung Kerajaan yang telah disiapkn dipanggung kehormatan menyusul Pabicara Bonde selaku ketua Hadat dan juru bicara yang akan melakukan pelantikan.
2. Sementara berpegang bersama di payung,dengan diahului pemukulan gendang, keke,aba-aba dari protocol, Pabicara Bonde mengucapkan naskah pelantikan sebagai berikut :
a. “Iyamimo tu’u die Hada’ siolatau maranni”. Artinya : “Kami ini adalah Hadat bersama rakyat”.
b. “Lewu parri’dimang”. Artinya : “Kami telah sepakat secara aklamasi”.
c. “Maradiamo tu’u namaasayangngi Banua siola Pa’banua”. Artinya : “ Rajalah yang akan menyayangi Negeri dan Rakyat”.
d. “Maradia tomo rapang ponnana ayu nanaengei mettullung.
D.Sistem Pernikahan
Untuk perkawinan di daerah Mandar secara umum, garis besarnya melalui 14 fase seperti:
1) Massulajing
Massulajing  artinya mencalonkan dan mencocokkan antara dua orang yang akan di persunting. Fase ini dilakukan oleh orang tua si lelaki berssama keluarga terdekat. Ini bermakna saling menghargai antara keluarga dan merupakan isyarat bahwa pengurusan dan seluruh tanggung jawab akan menjadi tanggung jawab bersama.
2) Messisi’ atau Mammanu’manu
Messisi’ adalah langkah permulaan yang berfungsi sebagai pembuka jalan dalam rangka pendekatan pihak laki-laki terhadap pihak wanita. Tugas ini biasanya dilakukan oleh satu atau dua orang diambil dari orang-orang yang kedudukannya dapat menengahi urusan ini. Artinya dia ada hubungan keluarga dengan wanita dan juga ada hubungan kelurga dengan pihak pria.
Sifat kunjungan Messisi’ ini sangat rahasia. Sedapat mungkin pihal lain tidak mengetahuinya. Ada 2 hal yang ingin dicapai dalam kerahasian ini:
· Jika gagal pihak laki-laki tidak merasa malu.
· Untuk mencegah pihak lain yang ingin menghalangi hubungan ini.
Inti pembicaraan pada fase ini hanya menanyakan:
· Apakah si gadis……sudah ada yang meminang ?
· Apakah si………..anak dari si…….., dapat menerima jika datang melamar?

3) Mettumae atau Ma’duta
Mettumae atau ma’duta ialah mengirim utusan untuk melamar, merupakan proses lanjutan utuk lebih memastikan dan membuktikan hasil yang dicapai pada fase mammanu’-manu. Duta artinya utusan tediri dari bebrapa pasangan suami istri yang biasanya dari keluarga dekat, pemuka adat dan penghulu agama dengan berbusana secara adat.
Pada fase ini biasanya berlangsung ramai karena disini para utusan berkesempatan menyampaikan maksudnya secara simbolik melalui puisi atau ‘kalinda’da mandar’. Untuk fase ini contoh kalinda’danya sebagai berikut :
Pihak laki-laki :
“ Poleang me’oro candring
Dileba turunammu
Tandai mie’
Kalepu di batammu
Artinya :
“ Kami datang duduk menduta
Dikampung halamanmu
Suatu tanda
Cinta kami kepadamu”.
Jawaban pihak wanita :
“ Uromai pepolemu
Utayang pe’endemu
Maupa bappa
Anna mala sambasse”
Artinya :
“ Kedatanganmu kami jemput
Kutunggu maksud hatimu
Semoga beruntung
Kehendak kita dapat bertemu”
Sampai pada kalimat terakhir yaitu
Pihak laki-laki :
“ Beru-beru dibanyammu
Pammasse’i appanna
Diang tumani
Tau laeng mappuppi”.
Artinya :
“ Kembang melati dalam rumahmu
Kuat-kuat pagarnya
Jangan sampai ada
Orang lain yang memetiknya”
Jawaban dari pihak wanita :
“ Beru-beru di boya’i
Masse’ banggi appanna
Takkala  ula
I’o nammabuai”
Artinya :
“ kembang melati dirumah kami
Pagarnya cukup kuat
Kami sepakat
Engkaulah yang membukanya”.
Menyimak jawaban terkhir dari pihak wanita menendakan bawa lamaran diterima. Dengan demikian fase berikutnya yaitu: “Mambottoi Sorong”. Ketentuan utama dari fase ma’duta adalah :
§ Pihak laki-laki harus membawa uang yang di sebut “pamuai ngnga yaitu uamh pembuka mulut”
§ Segala bahan konsumsi ditanggung oleh pihak laki-laki, dan diantar ke pihak wanita bersamaan pemberitahuan hari mambotoi sorong.

4) Mambottoi Sorong
Sorong atau mas kawin adalah sesuatu yang memiliki nilai moral dan material yang mutlak ada dalam suatu perkawinan. Tanpa adanya mas kawin, perkawianan dianggap tidak sah menurut aturan adat maupun menurut syariat Islam. Sedang menurut adapt istiadat suku Mandar, “sorong” adalah gambaran harga diri dan martabat wanita yang ditetapkan menurut aturan adat yang disahkan oleh  hadat yang tidak boleh diganggu gugat atau ditawar-tawar naik turunnya. Seorang ini adalah milik si wanita yang harus diangkat oleh si pria menurut strata si wanita itu sediri. Sampai saat sorong didaerah mandar dikenal lima tingkatan :
a. Sorong bagi anak raja yang berkuasa menggunakan istialah “Tae” yang nilai realnya berfariasi :
· Satu tae balanipa nilainya  4 real
· Satu tae sendana nilainya  3 real
· Satu tae banggae nilainya  2½ real
· Satu tae pamboang nilainya 2½  real
· Satu tae tappalang nilainya  2½  real
· Satu tae mamuju nilainya  2½  real
· Satu tae binuang nilainya 2½  real
b. Sorong anak bangsawan 180 dan 300 real
c. Sorong Tau anak pattola hadat bisa 120 atau 160 real .  Jika sedang berkuasa menjadi anggota hadat bisa 200 real.
d. Sorong tau samar (orang biasa), 60 dan 80 real
e. Sorong to batua (budak), 40 real kemudian sorongnya diambil oleh tuannya.
Semenjak suku mandar, Bugis, Makasar, dan Toraja itu lahir di Sulawesi selatan, telah lahir dan berkembang pula  budaya  dan adat-istiadat yang mendasari dan mengatur kegiatanya masing-masing.
Bila kegiatannya dilakukan dengan suku yang sama maka tidak akan ada masalah. Kalaupun ada masalah penyelesaiannya mudah karena sama-sama berpegang pada budaya dan aturan adat yang sama. Tetapi bila kegiatan itu, masalnya perkawinan dilakukan oleh suku yang berlainan maka timbul masalah tentang budaya dan aturan adat mana yang akan mendasari perkawianan tesebut.
Jika kedua belah pihak bersikeras ingin menerapkan budayanya masing-masing, maka perkawinan yang seharusnya terlaksana dengan baik, bisa menjadi batal. Yang demikian ini banyak terjadi bagi yang belum mengetahui kesepakatan “aturan adat” di sulawesi selatan yang diletakkan oleh tiga bersaudara yaitu I-TabittoEng Balanipa (Mandar), La Palangki Aru Palakka (Bugis) dan I-Rerasi Gowa (Makassar) sekitar tahun tahun 1460 M yang isinya dalam bahasa Indonesia :
“Orang Mandar dan orang Gowa pergi ke Bona, maka Bonelah dia; orang Mandar dan orang Bone pergi ke Gowa maka Gowalah dia; jiak orang Gowa dan orang Bone pergi ke Manar, maka Mandarlah dia”
Ini mengandung pengertian bahwa orang Mandar dan orang Gowa (Makassar) yang berada di Bone (Bugis) harus menggunakan atau memakai adat-istiadat Bone (Bugis) dan sebaliknya seterusnya
Jika pria Gowa (Makassar) akan melamar wanita Mandar, menurut adat harus datang melamar di Bandar. Karean acara ini dilakukan di Mandar (dalam lingkungan pihak wanita) maka sesuai kesepakatan adat di Sulawesi Selatan yang harus mendasari   pelamaran, perkawinan dan seluruh rangkaiannya adalah budaya dan adat-istiadat Mandar, termasuk “sorong” atau “mas kawin” dan sebaliknya seterusnya.
Meskipun ada aturan-aturan adat yang disepakati seperti tersebut diatas, jika ada perselisihan tentang hal ini masih ada jalan lain yang dibenarkan oleh aturan adat dan kaidah yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Sulawesi Selatan selama ini berbunyi :
“Matindoi ada’mua’diang sasamaturuang”
Artinya :
“Aturan-aturan adat (bisa) tidak berlaku bagi pihak-pihak yang ingin berdamai atau  mencari kesepakatan lain yang baik”.
Mambottui sorong artinya memutuskan (menetapkan) mas kawin. Pada fase ini seluruh permasalahan yang berhubungan dengan persyaratan mas kawin dan pelaksanaannya telah dibicarakan dan diputuskan, utamanya mengenai sorong itu sendiri, belanja, waktu pelaksanan akad nikah, paccandring dan lain-lain.
Pada acara ini biasa berjalan ramai dan seru karena “sipappa soro-sorong” artinnya saling desak-mendesak untuk mengabulkan usul masing-masing. Dikatakan ramai karena usul ini biasanya dapat disampaikan secara simbolik dengan kalinda’da Mandar yang contohnya sebagai berikut :
Pihak laki-laki :
“ Poleang ma’lopi sande
Lima ngura sobalna
Merandang jappo
Mewalango ta’garang”
Artinya :
“ Kami datang berperahu sande
Lima urat kain layarnya
Bertali-jangkar lapuk
Jangkarnya juga sudah berkarat”
Satu hal yang harus diperhatikan dalam penyampaikan lamaran kepada pihak wanita yaitu kalinda’da yang digunakan harus yang bersifat merendah hati, tidak boleh menyombongkan diri karena bangsawan, karena kaya, karena pintar, dan lain-lainnya.
Jika tahap pambottuiangan sorong ini mencapai kesepakatan maka tahap selanjutnya dapat dilakukan.
5) Membawa Paccanring
Membawa paccandring adalah pernyataan rasa gembira oleh pihak laki-laki atas tercapainya kesepakatan tentang sorong dan besar belanja. Yang dibawa dominan buah-buahan segala macam dan sebanyak mungkin. Menurut kebiasaan, paccanring ini dibagi-bagikan kepada segenap keluarga dan tetangga, dan pengantarnya harus dengana arak-arakan.
6) Ma’lolang
Adalah perkunjuangan laki-laki bersama sahabat-sahabatnya kerumah wanita. Ini merupakan pernyataan resminya pertunangan dan perkenalan pertama laki-laki yang akan dikawinkan kepada segenap keluarga pihak wanita. Yang dilakukanya antara lain mengadakan permainan musik Gambus, Kecapi dan lain-lain. Mengenai konsumsi dalam acara ini ditanggung sepenuhnya oleh pihak laki-laki.
7) Mappadai Balaja
Artinya pihak laki-laki mengantar uang belanjaan yang telah disepakati kepihak wanita dengan arak-arakan yang lebih ramai lagi. Ini dilakukan sebelum ‘mata gau’ dan diantar sesuai permintaan pihak wanita.
8) Mappasau
Dilakukan pada malam hari menjelang besoknya persandingan. Mappasau artinya mandi uap, dimaksudkan agar semua bau busuk yang yang mungkin ada pada mempelai wanita menjadi hilang. Bahannya terbuat dari tumbuh-tumbuhan yang disebut “daun bunga” sejenis daun pandan dan beberapa campuran rempah-rempah lainnya. Cara melaksanankan pappasaungan ini ialah, bunga dan campurannya berupa dedaunan yang harum baunya direbus dengan air sampai mendidih. Mulut belanga diberi bungkus kain dan di lubangi. Pada lubang tersebut dipasangi saluran saluran bambu. Si gadis menyelimuti tubuhnya engan kain setebal mungkin. Setelah si gadis mengeluarkan keringat dan dianggap sudah memadai selimut dibuka. Setelah itu sigadis dimandikan untuk membersikan sisa-sisa uap yang melekat pada badan si gadis. Sesudah itu selesailah acara Pappasaungan.
9) Pallattigiang
Pallatiang dalam suku Mandar ada  3 yaitu pellattigiang secara adat, pelattigiang adat oleh raja-raja, an pelattigiang secara pauli atau obat.
Pelaksanaan pelattigiang waktunya ada 2 macam :
  • Bersamaan dengan hari akad nikah
  • Sehari sebelum akad nikah
Pelaksanaan pellattigiang secara adat harus berbusana lengkap dengan keris di pinggang, khusus pellattiang pauli (obat), busana dan kelengkapan lainnya bebas.
10) Mambawa Pappadupa
Adalah perkunjungan utusan pihak wanita ke rumah pihak laki-laki membawa “lomo masarri atau manyak wangi” dan busana yang akan dipakai pada saat akad nikah. Maksud utama dari padduppa ini adalah pernyataan kesiapan dan kesedian calon mempelai wanita untuk dikawinkan. Ini dilakukan pada malam hari, menuju esonya akan dinikahkan.
11) Matanna Gau
Merupakan puncak dari  segenap acara yang ada dalam upacara perkawinan. Pada bagian ini dilakukan arak-arakan yang lebih ramai sehari sebelumnya untuk mengantar calon mempelai pria kerumah calon mempelai wanita.
Ada dua hal pokok yang diantar, yaitu calon mempelai laki-laki dan mas kawin. Mas kawin dipantangkan bepisah dari calon mempelai laki-laki sebelum di serahkan pada wali mempelai wanita. Untuk meramaikan iring-iringan turut diantar barang-barang yang diatur sebagi berikut :
  1. Lomo atau minyak dimaksudkan agar acar berjalan dengan mulus dan jika ada kesulitan mudah penyelesaiannya.
  2. Gula atau manis-manisan, dimaksudkan agar pelaksanaan acara berjalan dengan baik.
  3. Kappu bunga-bungaan atau harum-haruman dimaksudkan agar kemulusan dan kebaikan pelaksanaan acara ini tersohor di segenap penjuru.
  4. Masi-masigi dimaksudkan agar calon pihak mempelai pria dan wanita senantiasa searah dan keseinginan, dan sekaligus menjadi tanda bahwa yang diarak ini beagama Islam.
  5. Bualoa artinya seperti pajak dari nilai kesepakatan. Ini dibagi-bagikan oleh adapt dalam upacara.
  6. Kelompok pengantar dari golongan wanita.
  7. Calon mempelai pria bersama mas kawin yang dibawa oleh seorang laki-laki kuat asmnai dan rohani serta dapat dipercaya.
  8. Kelompok pengantar laki-laki.
  9. Kelompok musik rebana.
Calon pengantin pria bersama sorong dan pembawanya berada dibawah payung. Setelah calon mempelai pria tiba dihalaman rumah calon pengantin wanita, dia dijemput oleh seorang famili dari mempelai wanita. Sesampai di tangga diemput dengan taburan beras ini dimaksudkan agar kedua suami-istri kelak dapat membangun rumah tangga yang makmur, berbahagialahir dan batin.
Urutan acara pada mata gau :
§ Pembacaan ayat suci Al-Qur’an
§ Pellattingiang berlangsung bersama-sama dengan tarian
§ Penyerahan mas kawin
§ Penyerahan perwalian dari wali calon mempelai wanita kepada orang yang akan menikah
§ Pelaksanan ijab Kabul
§ Pengucapan ikrar mempelai pria terhadap mempelai wanita
§ Mappasinga’ang artinya melakukan pegangan sah yang pertama.
§ Pemasangan cincin kawin bergantian
§ Saling menyuapi makan
§ Memohon doa restu ke-4 orang tua, dan sanak famili yang lain dari ke-2 belah pihak
§ Kedua mempelai duduk bersama di pelaminan untuk menerima tamu.
12) Nilipo
Merupakan kunjungan keluarga pihak mempelai pria keruamh mempelai wanita. Ini dilakukan paling tidak 3 kali berturut-turut setiap malam sesudah salat isya.
Ini dimaksudkan untuk mempererat hubungan kekeluargaan antara kelurga kedua belah pihak. Kesempatan ini pula diadakan acara ‘mappapangino’ yaitu mempelai laki-laki mencari, memburu dan menangkap memoelai wanita.
13) Mando E Bunga
Artinya mandi bunga untuk menharumkan dan membersihkan diri dari hadas besar yang mungkinterjadi sesudah akad nikah. Ini dilakukan bersama-sama  kedua mempelai dalam tempayan yang satu, untuk memasuki tahap berikutnya.
14) Marola atau Nipemaliangngi
Marola artinya mengikut atau rujuk ialah perkunjungan kedua mempelai kerumah mempelai pria. Kegiatan ini dilakukan hanya untuk bersenang-senang, bermain musik dan lain-lain. Kesempatan ini biasa orang tua pria melakukan pemberian barang-barang berharga seperti tanah, perkebunan, rumah dan sebagainya sebagai pernyataan syukur dan gembira terhadap terlaksananya perkawinan tersebut.
Contoh pakaian adat perkawinan suku mandar :

E.Sistem Kekerabatan
Suku Mandar pada umumnya mengikuti kedua garis keturunan ayah dan ibu yaitu bilateral. Suku Mandar biasanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang biasanya bersekolah di daerah lain. Adapun keluarga luas di Mandar terkenal dengan istilah Mesangana, kelurag luas yaitu famili-famili yang yang dekat an sudah jauh tetapi masih ada hubungan keluarga. Status dalam suku Mandar berbeda dengan suku Bugis, karena didaerah Bugis  pada umunya wanita yang memegang peran dalam peraturan rumah tangga. Suami sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas keluarganya mempunyai tugas tertentu, yaitu mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Sebaliknya di Mandar, wanita tidak hanya mengurus rumah tangga, tetapi mereka aktif dalam mengurus pencarian nafkah, mereka mempunyai prinsif hidup, yaitu Sibalipari yang artinya sama-sama menderita (sependeriataan) seperti: kalau laki-lakinya menangkap ikan, setelah sampai didarat tugas suami sudah dianggap selesai, maka untuk penyelesaian selanjutnya adalah tugas istri terserah apakah ikan tersebut akan dijual atau dimakan, dikeringkan, semua itu adalah tugas si istri. Didaerah Bugis wanita juga turut mencari nafkah tetapi terbatas pada industri rumah, kerajinan tangan, menenun anyaman dan lain-lain.  Didaerah Mandar terkenal dengan istilah hidup, Sirindo-rondo, Siamasei, dan Sianuang pa’mai. Sirondo-rondoi maksudnya bekerjasama Bantu membantu dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan baik yang ringan maupun yang berat. Jadi dalam rumah tangga kedua suami istri begotong royong dalam membina keluarga. Siamamasei, sianuang pa’mai ( sayang menyayangi, kasih mengasihi, gembira sama gembira susah sama susah). Secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya kerjasama Bantu membantu baik yang bersifat materil maupun non materil.
F. Nilai Budaya atau Kesenian
Tanpa hasil penelitian mendalam dan meluas atau tanpa membaca serta menyimak seluruh hasil penelitian tentang seni dan budaya Mandar, mustahil dapat dilahirkan karya tulis yang memadai. Namun, dalam batas makala pengantar diskusi atau makala pemicu, catatan ini diharapkan dapat diterima sebagai umpan pancingan untuk memancing hal-hal lain dalam kaitan dengan tema pertemuan. Beberapa cabang seni Mandar dapat dikemukakan disini hanya semata-mata sebagai sample dari sekian banyaknya jenis seni milik masyarakat secara turun-temurun. Masihkah masyarakat Mandar ingin menghiduokan kembali nilai-nilai utama, yang tetap relevan menembus saman dengan berbagai tantangan baru, sebelum di berdayakan. Tanpa budaya yang sudah berdaya, mustahil bisa diberdayakan. Buadaya tanpa daya tak bisa di berdayakan. Lebih parah lagi budaya yang belum berdaya hendak di berdayakan oleh manusia yang tercabut dari akar budayanya sendiri atau oleh masyarakat yang kurang secara kultural.
Irama musik dalam lagu-lagu mandar secara spesifik mencerminkan setting laut. Deburan ombak, riak gelombang yang dinamis, hempasan ombak dipantai dan geliat ombak gelombang yang diterbangin angin lembut atau badai bisa dirasakan pada melodi laut di dalam lagu-lagu Mandar yang cenderung eksotik, romantis, dan sentimentil. Lagu-lagu Mandar sering dan selincah lagu-lagu Maluku, namun sekaligus selembut irama agraris lagu-lagu Bugis meski tidak sedinamis lagu-lagu Makassar yang terkesan agak cepat dan kekurangan kelembutan. Bandingkan lagu “Tengga Tengga Lopi” dengan “Baturate Maribulang”.
Tari-tarian mandar sebagaimana tari lain di daerah Sulsel pada mulanya berawal dari istana. Namun, tari-tarian yang difungsikan sebagai bagian ritual dari kerajaan akhirnya menjadi tari rakyat yang bukan hanya bertujuan memberikan rasa hormat pada raja sebagai representasi dari dewata, melainkan menjadi tari rakyat yang memberi hiburan yang sehat.
Tari “Patadu” menampakkan suasana langit-bumi yang menyatu dalam gerak kaki para penari yang tak terlepas dari bumi, dan pada saat yang sama pasangan tangan mereka menari-nari bukan tanpa kebebasan, namun kebebasan dengan kendali nilai budaya oleh gerakan yang menandakan adanya aturan yang harus ditaati. Musik yang menggebu-gebu tak mampu memancing emosi para penari untuk ikut-ikutan bergoyang menurut irama gendang. Para penari terkesan menari secara lemah lembut menantang iramagendang yang penuh dengan geliat yang dinamis. Hal yang sama bisa ditemukan pada tari “Pakarena” di dalam seni tari Bugis-Makassar.
2.Proses Asimilasi dan Enkulturasi
 Proses asimilasi yaitu dimana dua kelompok yang berbeda kebudayaannya saling berbaur dan menyatu menjadi satu kesatuan hingga menghasilkan kebudayaan baru yang berbeda dengan kebudayaan aslinya. Adanya kebudayaan yang berbeda-beda pada suku mandar inilah yang membuat kebudayaan tersebut bergabung menjadi satu sehingga terbentuknya budaya yang baru di tengah masyarakat suku mandar, dan menghilangkan kebudayaan lama dan bertahun-tahun sudah ada ditengah masyrakat suku mandar.
Proses enkulturasi adalah proses pengenalan norma yang berlaku di masyarakat suku mandar.

3. Kaitkan psikologi Lintas Budaya dari Segi Moral dan Kepribadian








           

2 komentar: