SUKU MANDAR
Suku Mandar
adalah satu-satunya suku bahari di Nusantara yang secara geografis berhadapan
langsung dengan laut dalam. Lautan dalam merupakan halaman rumah-rumah mereka.
Begitu mereka bangun dari tidur, mereka akan disapa oleh gemuruh air laut dan
dibelai oleh angin laut. Kondisi alam mengajarkan kepada masyarakat Mandar
bagaimana beradaptasi untuk mempertahankan hidup (meminjam bahasa Durkheim,
struggle for survival), dan membangun kebudayaannya. Mandar adalah nama suatu suku
(etnis) bangsa dan nama budaya dalam Lembaga Kebudayaan Nasional dan Lembaga
Pengkajian Budaya Nasional. Diistilahkan sebagai etnis karena Mandar merupakan
salah satu kelompok etnis dari empat suku utama yang mendiami kawasan propinsi
Sulawesi Selatan yakni etnis Makassar (Mangkasara), etnis Bugis (Ogi),
etnis Toraja (Toraya) pengelompokan ini dimasukkan dalam suatu kelompok
pengkajian yang disebut “Lagaligologi”.
1.Unsur Budaya Suku
Mandar
A.Perkembangan Bahasa
Seperti
suku-suku atau etnis lainnya yang ada pada suatu bangsa termasuk yang ada di
Indonesia, dipahami bahwa bahasa merupakan identitas yang menunjukkan suatu
bangsa, etnis atau suku tersebut. Tak pelak Mandar sebagai sebuah etnis atau
bahkan yang lebih besar dari itu, sebuah suku bangsa juga berlaku hal yang serupa.
Artinya Mandar juga dapat dipahami dan dimengerti bahkan dikenal melalui
bahasanya.
Konon
masih sama dengan etnis lainnya di Indonesia, bahasa Mandar juga berasal dari
rumpun bahasa Malayu Polinesia atau bahasa Nusantara atau yang lebih acap
disebut sebagai bahasa ibunya orang Indonesia. Oleh Esser (1938) disebutkan,
bahwa mandfarsche dialecten yang awal penggunaannya berangkat dari daerah
Binuang bagian utara Polewali hingga wilayah Mamuju Utara daerah Karossa.
Walau
hingga kini tidak jelas benar sejak kapan penggunaan bahasa Mandar dalam
keseharian orang Mandar. Namun dapat diduga, bahwa penggunaan bahasa Mandar
sendiri bersamaan lahirnya orang atau manusia pertama yang ada di tanah Mandar.
Hal yang lalu dapat dijadikan rujukan adalah adanya bahasa Mandar yang telah
digunakan dalam lontar Mandar sekitar abad ke-15 M. Ibrahim Abas (1999).
Sehingga
kuat dugaan bahwa bahasa yang digunakan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan
masa lalu di daerah Mandar telah menggunakan bahasa Mandar, yang untuk itu dapat
dicermati dalam beberapa lontar yang terbit pada masa-masa pemerintahan
kerajaan Mandar.
Sedang
menilik area penyebaran bahasa Mandar sendiri, hingga kini masih dengan mudah
bisa di temui penggunaannya di beberapa daerah di Mandar seperti, Polmas,
Mamasa, Majene, Mamuju dan Mamuju Utara. Kendati demikian di beberapa tempat
atau daerah di Mandar juga telah menggunakan bahasa lain, seperti untuk Polmas
di daerah Polewali juga dapat ditemui penggunaan bahasa Bugis, sebagai bahasa
Ibu dari etnis Bugis yang berdiam dan telah menjadi to Mandar (orang
Mandar-pen) di wilayah Mandar. Begitu pula di Mamasa, menggunakan bahasa
Mamasa, sebagai bahasa mereka yang memang di dalamnya banyak ditemui
perbedaannya dengan bahasa Mandar. Sementara di daerah Wonomulyo, juga dapat
ditemui banyak masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa, utamanya etnis Jawa
yang tinggal dan juga telah menjadi to Mandar di daerah tersebut. Kecuali di
beberapa tempat di Mandar, seperti Mamasa. Selain daerah Mandar-atau kini
wilayah Provinsi Sulawesi Barat-tersebut, bahasa Mandar juga dapat ditemukan
penggunaannya di komunitas masyarakat di daerah Ujung Lero Kabupaten Pinrang
dan daerah Tuppa Biring.
B.Perkembangan
Religi (agama)
Pada
umumnya dewasa ini suku Mandar adalah penganut agama Islam yang setia tetapi
dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat lepas dari kepercayaan-kepercayaan
seperti pemali, larangan-larangan dan perbuatan magis seperti pemakaian jimat
atau benda-benda keramat dan sesaji.
Didaerah
pedalaman seperti di pegunungan Pitu Ulunna Salu sebelum Islam masuk,
religi budaya yang dikenal ketika itu adalah adat Mappurondo yang
diterjemahkan sebagai bepeganng pada falsafah Pemali Appa Randanna.
Sedangkan
untuk wilayah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga sendiri, religi budayanya
dapat ditemui pada peningglaanya yang berupa ritual dan upacara-upacara adapt
yang tampaknya bisa dijadikan patokan bahwa ia besumber dari religi budaya dan
kepercayaan masa lalunya. Seperti ritual Mappasoro (menghanyutkan sesaji
di sungai) atau Mattula bala’ (menyiapkan sesjai untuk menolak musibah)
dan lain sebagainya yang diyakini akan membawa manfaat kepada masyarakat yang
melakukannya. Dari sini jelas tampak betapa symbol-simbol budaya itu berangkat
dari religi budaya, yang untuk itu tidak dikenal dalam Islam.
C.
Upacara keagamaan dan Adat
a. Akikah
Bagi
keluarga yang mampu, akikah sebaiknya dilakukan sedini mungkin misalnya hari
ke-7, ke-14, dan ke-21. Pada upacara ini ada 2 tata-cara pokok yaitu :
pemotongan hewan dan pembacaan barzanji. Kemudian beberapa cara yang sering
dikaitkan yaitu: pemberian/peresmian nama dan pengguntingan rambut.
Persiapan-persiapan
yang diperlukan pada upacara ini antara lain kue, songkol, pisang berbagai
jenis. Kemudian alat-alat antara lain : gunting, kelapa muda yang telh
dilubangi, patties atau lilin , dan dupa.
1.
Pemotongan Hewan
Bagi anak laki-laki dianjurkan
dipotongkan 2 ekor kambing dewasa, jantan dan sehat, sedangakan anak wanita
dianjurkan seekor, juga dewasa, jantan dan sehat.
Secara tradisional pemotongan ini
dimaksudkan sebagai syukuran, selamatan dan penolak bala dari gangguan roh-roh
jahat.
2.
Pembacaan Barzanji.
Pada saat dupa dan lilin dibakar,
barzanji mulai dibaca, anak yang telah diakikah ditimbang oleh dukun beranak
atau ibunya atau siapa saja yang ditunjuk di sekitar pembaca barzanji. Saat
bacaan tiba pada kalimat “ASYARAKAL BADRU ALAINA”, pembaca barzanji, ibu yang
memangku si bayi diangkat ke tengah-tengah para penggunting yang telah diundang
untuk acara tersebut. Ada dua cara untuk melakukan pengguntingan rambut yaitu
secara “aturan adat” dan secara “biasa” atau “umum” atau “bebas”.
- Secara aturan adat dilakukan pengguntingan rambut menurut Anggota Hadat. Untuk Kerajaan Pamboang urutannya sebagai berikut :
- Kadhi Pamboang
- Maradia (bisa Maradia Matoa atau Maradia Malolo)
- Pabicara Bonde
- Pabicara Adolang
- Pabicara Lalampanua
- Suro Puang di Tawaro
- Suro Puang di Polo (ng).
- Secara umum bisa dilakukan sebagai berikut:
a. Kadhi
atau Imam
b. Pejabat
c. Orang yana banyak anak dan berhasil mendidiknya
d. Orang
berilmu pengetahuan
e. Orang
kaya
f. Pemuka masyarakat yang disegani (berani)
g. Pemuka
masyarakat yang dukun.
Setelah
rambut bayi tergunting, guntingannya dimasukkan ke dalam kelapa muda yang sudah
dilubangi, langsung oleh masing-masing para penggunting. Penggunaan kelapa muda
pada acara ini, dimaksudkan agar si anak tetap kelihatan bersih dan tahan
serangan penyakit.
Jika
kita perhatikan acara pengguntingan rambut ini terlihat ada maksud-maksud
tertentu dan rahasia dari orang tua si bayi, bahwa dengan pengguntingan rambut
ini diharapkan si bayi kelak bernasib sama dengan para penggunting rambut pada
acara ini.
Sementara
pengguntingan rambut pembacaan barzanji jaln terus dan sesudah pengguntingan
pembaca barzanji duduk bersama seluruh hadirin.
Sesudah
pembacaan barzani konsumsi khusus berupa songkol, cucur, telur, dan pisang
berbagai macam dibagikan kepada para segenap peserta. Khusus
untuk pembagian Kadhi, Raja dan anggota Hadat diantarkan langsung ke rumahnya.
Kemudian pada acara istirahat kambing sembelihan
untuk akikah dimakan bersama. Sesudah itu maka selesailah upacara akikah dan
seluruh rangkaiannya.
b. Niuri
Niuri
dalam masyarakat Mandar adalah upaya penyelamatan lahirnya seorang bayi. Bagi
wanita utamanya yang baru pertama kalinya hamil sudah menjadi tradisi (kebiasaan)
diadakan acara niuri dalam masa kehamilan 7 sampai 8 bulan.
Untuk
melaksanakan acara ini, yang lebih dahulu disiapkan yaitu : Kue-kue sebanyak
mungkin, ayam betina satu ekor, tempayan berisi air, kayu api, beras dan
lain-lain. Tata cara melaksanakan sebagai berikut :
1. Wanita
yang akan niuri duduk bersanding dengan suaminya, keduanya dalam busana
tradisional lengkap. Wanita boleh memakai perhiasan emas seperti pattu’du boleh
juga memakai boko atau pasangan berwarna biru atau putih. Keduanya disuruh memilih
kue-kue yang muncul diseleranya masing-masing. Jika yang dipilih yang bundar
misalnya : Onde-onde, gogos dan semacamnya maka diperkirakan akan lahir bayi
laki-laki. Jika yang gepeng-gepeng misalnya : Pupu, kue lapis, katiri mandi dan
semacamnya, diharapkan akan lahir seorang bayi wanita.
2. Sesudah
makan bersama, istilah Mandarnya “nipande mangidang” orang yang akan niuri
dibaringkan oleh “sando peana” atau “dukun beranak” dihamparan kasur di lantai
rumah. Setelah dibaringkan si dukun menaburkan beras di
bagian dahi dan perut to-niuri. Kemudian ayam yang telah tersedia yang sehat
dan tidak cacat di suruh mencocot beras-beras yang bertaburan tadi sampai
habis.
3. Masih dalam
posisi berbaring, si dukun mengambil piring yang berisi beras ketan, telur dan
lilin yang sedang menyala diletakkan sejenak di atas perut lalu ke bagian dahi,
kemudian diayun-ayunkan beberapa kali mulai dari kepala sampai ke kaki. Sesudah
itu ayam pencotot tadi dilambai-lambaikan ke sekujur tubuh toniuri sebanyak 3
atau 5 atau 7 kali. Sesudah
itu dilepaskan melalui pintu depan dan toniuri di bangunkan.
4. Selesai
tahap ke-3,toniuri diantar ke pintu depan rumah kemudian diambil kayu-api yang
masih menyala, lalu dipegang diatas kepala. Setelah itu diambil air yang telah
dicampur dengan burewe tadu, bagot tuo, ribu-ribu, daun atawang dan daun
alinduang, dan dengan timbah khusus disiramkan di atas kayu api langsung ke
kepala dan membasahi seluruh tubuh serta memadamkan api yang masih menyala di
kayu api. Sesudah itu secepatnya kayu api yang sudah padam dibuang ke tanah.
Seluruh busana yang dikenakan oleh toniuri diserahkan kepada si dukun untuk
dimiliki. Dalam istilah Mandarnya disebut “nilullus”. Menimba air cukup 14 kali
saja.
Sementara
seluruh tahap-tahap peurian berlangsung bagi keturunan bangsawan yang ada darah
Bugis-Makasarnya, alat musik siasia dibunyikan terus dengan lagu-lagu bersifat
doa yang contohnya sebagai berikut :
“
Alai sipa’uwaimmu
Pidei
sipa’ apimmu
Tallammo’o
liwang
Muammung pura beremu”
Artinya :
“ Ambil sifat airmu (gampang mengalir)
Padamkan
sifat apimu (panas)
Keluarlah
engkau
Membawa
takdirmu”.
“
Uwai penjarianmu
Uwai
pessungammu
Uwai
pellosormu
Uwai
pellene’mu
Uwai
peoromu
Uwai
pellambamu
Uwai
atuo-tuoammu”.
Artinya
:
“
Engkau tercipta dari air
Keluarlah
merangkak, duduk dan berjalan seperti lancarnya air mengalir.
Murahlah
rezekimu an dingin seperti air”
Ada beberapa maksud-maksud tersembunyi dalam upacara
niuri ini yaitu :
1. Menimba air 14 kali, dimaksudkan agar si bayi
setelah dewasa, memiliki wajah seperti bulan purnama
2. Bangot tuo yaitu semacam tumbuh-tumbuh biar dimana
saja gampang tumbuh dan tumbuh subur. Bangong artinya bangun dan tuo artinya
hidup. Dimaksudkan agar si bayi sampai dewasa tetap sehat bugar.
3. Ribu-ribu juga semacam tumbuh-tumbuhan yang
bunganya lebih banyak dari pada daunnya. Ini dimaksudkan agar si bayi setelah
dewasa menjadi orang kaya.
4. Daun atawang, dimaksudkan agar si bayi tetap
terhindar dari penyakit.
c. Pappatadayang
Pappatadayang artinya pelantikan yang akan dibahas pada
makalah ini adalah pelantikan seorang Raja yang mengambil sempel di
Kerajaan Pamboang, yang pasti caranya sama dengan seluruh kerajaan di Pitu
“Ba’ba Binanga Mandar.
Pada upacara seperti ini dikaitkan yaitu memanna atau
mangaru dalam beberapa macam tingkatan. Sehubungan dengan pelantikan ini
disiapkan Payung Kerjaan untuk tempat berpegang Raja bersama seorang anggota
Hadat yang mewakili anggota Hadat lainnya untuk melakukan pelantikan, gendang
an keke.
Untuk Kerajaan Pamboang tata-caranya sebagai berikut
:
1. Raja yang akan dilantik berpegang ke Payung
Kerajaan yang telah disiapkn dipanggung kehormatan menyusul Pabicara Bonde
selaku ketua Hadat dan juru bicara yang akan melakukan pelantikan.
2. Sementara berpegang bersama di payung,dengan
diahului pemukulan gendang, keke,aba-aba dari protocol, Pabicara Bonde
mengucapkan naskah pelantikan sebagai berikut :
a. “Iyamimo
tu’u die Hada’ siolatau maranni”. Artinya : “Kami ini adalah Hadat
bersama rakyat”.
b. “Lewu parri’dimang”. Artinya : “Kami telah sepakat
secara aklamasi”.
c. “Maradiamo tu’u namaasayangngi Banua siola
Pa’banua”. Artinya : “ Rajalah yang akan menyayangi Negeri dan Rakyat”.
d.
“Maradia tomo rapang ponnana ayu nanaengei mettullung.
D.Sistem
Pernikahan
Untuk perkawinan di daerah Mandar secara umum, garis
besarnya melalui 14 fase seperti:
1)
Massulajing
Massulajing artinya mencalonkan dan mencocokkan
antara dua orang yang akan di persunting. Fase ini dilakukan oleh orang tua si
lelaki berssama keluarga terdekat. Ini bermakna saling menghargai antara
keluarga dan merupakan isyarat bahwa pengurusan dan seluruh tanggung jawab akan
menjadi tanggung jawab bersama.
2) Messisi’
atau Mammanu’manu
Messisi’
adalah langkah permulaan yang berfungsi sebagai pembuka jalan dalam rangka
pendekatan pihak laki-laki terhadap pihak wanita. Tugas ini biasanya dilakukan
oleh satu atau dua orang diambil dari orang-orang yang kedudukannya dapat
menengahi urusan ini. Artinya dia ada hubungan keluarga dengan wanita dan juga
ada hubungan kelurga dengan pihak pria.
Sifat
kunjungan Messisi’ ini sangat rahasia. Sedapat
mungkin pihal lain tidak mengetahuinya. Ada 2 hal yang ingin dicapai dalam kerahasian ini:
· Jika gagal pihak laki-laki tidak merasa malu.
· Untuk mencegah pihak lain yang ingin menghalangi
hubungan ini.
Inti pembicaraan pada fase ini hanya menanyakan:
· Apakah
si gadis……sudah ada yang meminang ?
· Apakah si………..anak dari si…….., dapat menerima jika
datang melamar?
3)
Mettumae atau Ma’duta
Mettumae
atau ma’duta ialah mengirim utusan untuk melamar, merupakan proses lanjutan
utuk lebih memastikan dan membuktikan hasil yang dicapai pada fase
mammanu’-manu. Duta artinya utusan tediri dari bebrapa pasangan suami istri
yang biasanya dari keluarga dekat, pemuka adat dan penghulu agama dengan
berbusana secara adat.
Pada
fase ini biasanya berlangsung ramai karena disini para utusan berkesempatan
menyampaikan maksudnya secara simbolik melalui puisi atau ‘kalinda’da mandar’.
Untuk fase ini contoh kalinda’danya sebagai berikut :
Pihak
laki-laki :
“
Poleang me’oro candring
Dileba
turunammu
Tandai
mie’
Kalepu
di batammu
Artinya :
“ Kami datang duduk menduta
Dikampung halamanmu
Suatu
tanda
Cinta
kami kepadamu”.
Jawaban
pihak wanita :
“
Uromai pepolemu
Utayang
pe’endemu
Maupa bappa
Anna mala sambasse”
Artinya :
“ Kedatanganmu kami jemput
Kutunggu maksud hatimu
Semoga beruntung
Kehendak kita dapat bertemu”
Sampai pada kalimat terakhir yaitu
Pihak laki-laki :
“ Beru-beru dibanyammu
Pammasse’i appanna
Diang tumani
Tau laeng mappuppi”.
Artinya :
“ Kembang melati dalam rumahmu
Kuat-kuat pagarnya
Jangan sampai ada
Orang lain yang memetiknya”
Jawaban dari pihak wanita :
“ Beru-beru di boya’i
Masse’ banggi appanna
Takkala ula
I’o nammabuai”
Artinya :
“ kembang melati dirumah kami
Pagarnya cukup kuat
Kami sepakat
Engkaulah yang membukanya”.
Menyimak jawaban terkhir dari pihak wanita menendakan
bawa lamaran diterima. Dengan demikian fase berikutnya yaitu: “Mambottoi
Sorong”. Ketentuan utama dari fase ma’duta adalah :
§ Pihak laki-laki harus membawa uang yang di sebut
“pamuai ngnga yaitu uamh pembuka mulut”
§ Segala bahan konsumsi ditanggung oleh pihak
laki-laki, dan diantar ke pihak wanita bersamaan pemberitahuan hari mambotoi
sorong.
4)
Mambottoi Sorong
Sorong atau mas kawin adalah sesuatu yang
memiliki nilai moral dan material yang mutlak ada dalam suatu perkawinan. Tanpa
adanya mas kawin, perkawianan dianggap tidak sah menurut aturan adat maupun
menurut syariat Islam. Sedang menurut adapt istiadat suku Mandar, “sorong”
adalah gambaran harga diri dan martabat wanita yang ditetapkan menurut aturan
adat yang disahkan oleh hadat yang tidak boleh diganggu gugat atau
ditawar-tawar naik turunnya. Seorang ini adalah milik si wanita
yang harus diangkat oleh si pria menurut strata si wanita itu sediri. Sampai saat sorong didaerah mandar
dikenal lima tingkatan :
a. Sorong
bagi anak raja yang berkuasa menggunakan istialah “Tae” yang nilai realnya
berfariasi :
· Satu tae
balanipa nilainya 4 real
· Satu tae
sendana nilainya 3 real
· Satu tae
banggae nilainya 2½ real
· Satu tae
pamboang nilainya 2½ real
· Satu tae
tappalang nilainya 2½ real
· Satu tae
mamuju nilainya 2½ real
· Satu tae
binuang nilainya 2½ real
b. Sorong
anak bangsawan 180 dan 300 real
c. Sorong
Tau anak pattola hadat bisa 120 atau 160 real . Jika sedang berkuasa
menjadi anggota hadat bisa 200 real.
d. Sorong
tau samar (orang biasa), 60 dan 80 real
e. Sorong
to batua (budak), 40 real kemudian sorongnya diambil oleh tuannya.
Semenjak
suku mandar, Bugis, Makasar, dan Toraja itu lahir di Sulawesi selatan, telah
lahir dan berkembang pula budaya dan adat-istiadat yang mendasari
dan mengatur kegiatanya masing-masing.
Bila kegiatannya dilakukan dengan suku yang sama maka
tidak akan ada masalah. Kalaupun ada masalah penyelesaiannya mudah karena sama-sama
berpegang pada budaya dan aturan adat yang sama. Tetapi bila kegiatan itu,
masalnya perkawinan dilakukan oleh suku yang berlainan maka timbul masalah
tentang budaya dan aturan adat mana yang akan mendasari perkawianan tesebut.
Jika kedua belah pihak bersikeras ingin menerapkan
budayanya masing-masing, maka perkawinan yang seharusnya terlaksana dengan
baik, bisa menjadi batal. Yang demikian ini banyak terjadi bagi yang belum
mengetahui kesepakatan “aturan adat” di sulawesi selatan yang diletakkan oleh
tiga bersaudara yaitu I-TabittoEng Balanipa (Mandar), La Palangki Aru Palakka
(Bugis) dan I-Rerasi Gowa (Makassar) sekitar tahun tahun 1460 M yang isinya
dalam bahasa Indonesia :
“Orang Mandar dan orang Gowa pergi ke Bona, maka
Bonelah dia; orang Mandar dan orang Bone pergi ke Gowa maka Gowalah dia; jiak
orang Gowa dan orang Bone pergi ke Manar, maka Mandarlah dia”
Ini mengandung pengertian bahwa orang Mandar dan
orang Gowa (Makassar) yang berada di Bone (Bugis) harus menggunakan atau
memakai adat-istiadat Bone (Bugis) dan sebaliknya seterusnya
Jika pria Gowa (Makassar) akan melamar wanita Mandar,
menurut adat harus datang melamar di Bandar. Karean acara ini dilakukan di
Mandar (dalam lingkungan pihak wanita) maka sesuai kesepakatan adat di Sulawesi
Selatan yang harus mendasari pelamaran, perkawinan dan seluruh
rangkaiannya adalah budaya dan adat-istiadat Mandar, termasuk “sorong” atau
“mas kawin” dan sebaliknya seterusnya.
Meskipun ada aturan-aturan adat yang disepakati
seperti tersebut diatas, jika ada perselisihan tentang hal ini masih ada jalan
lain yang dibenarkan oleh aturan adat dan kaidah yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat Sulawesi Selatan selama ini berbunyi :
“Matindoi ada’mua’diang
sasamaturuang”
Artinya :
“Aturan-aturan adat (bisa) tidak berlaku bagi
pihak-pihak yang ingin berdamai atau mencari kesepakatan lain yang baik”.
Mambottui sorong
artinya memutuskan (menetapkan) mas kawin. Pada fase ini seluruh permasalahan
yang berhubungan dengan persyaratan mas kawin dan pelaksanaannya telah
dibicarakan dan diputuskan, utamanya mengenai sorong itu sendiri, belanja,
waktu pelaksanan akad nikah, paccandring dan lain-lain.
Pada acara ini biasa berjalan ramai dan seru karena “sipappa
soro-sorong” artinnya saling desak-mendesak untuk mengabulkan
usul masing-masing. Dikatakan ramai karena usul ini biasanya dapat disampaikan
secara simbolik dengan kalinda’da Mandar yang contohnya sebagai berikut
:
Pihak laki-laki :
“ Poleang ma’lopi sande
Lima ngura sobalna
Merandang jappo
Mewalango ta’garang”
Artinya :
“ Kami datang berperahu sande
Lima urat kain layarnya
Bertali-jangkar lapuk
Jangkarnya juga sudah berkarat”
Satu hal yang harus diperhatikan dalam penyampaikan
lamaran kepada pihak wanita yaitu kalinda’da yang digunakan harus yang
bersifat merendah hati, tidak boleh menyombongkan diri karena bangsawan, karena
kaya, karena pintar, dan lain-lainnya.
Jika tahap pambottuiangan sorong ini
mencapai kesepakatan maka tahap selanjutnya dapat dilakukan.
5) Membawa
Paccanring
Membawa
paccandring adalah pernyataan rasa gembira oleh pihak laki-laki atas
tercapainya kesepakatan tentang sorong dan besar belanja. Yang dibawa dominan
buah-buahan segala macam dan sebanyak mungkin. Menurut kebiasaan, paccanring
ini dibagi-bagikan kepada segenap keluarga dan tetangga, dan pengantarnya harus
dengana arak-arakan.
6)
Ma’lolang
Adalah
perkunjuangan laki-laki bersama sahabat-sahabatnya kerumah wanita. Ini
merupakan pernyataan resminya pertunangan dan perkenalan pertama laki-laki yang
akan dikawinkan kepada segenap keluarga pihak wanita. Yang dilakukanya antara
lain mengadakan permainan musik Gambus, Kecapi dan lain-lain. Mengenai konsumsi
dalam acara ini ditanggung sepenuhnya oleh pihak laki-laki.
7)
Mappadai Balaja
Artinya
pihak laki-laki mengantar uang belanjaan yang telah disepakati kepihak wanita
dengan arak-arakan yang lebih ramai lagi. Ini dilakukan sebelum ‘mata
gau’ dan diantar sesuai permintaan pihak wanita.
8)
Mappasau
Dilakukan pada malam hari menjelang besoknya
persandingan. Mappasau artinya mandi uap, dimaksudkan agar semua bau
busuk yang yang mungkin ada pada mempelai wanita menjadi hilang. Bahannya
terbuat dari tumbuh-tumbuhan yang disebut “daun bunga” sejenis daun
pandan dan beberapa campuran rempah-rempah lainnya. Cara melaksanankan pappasaungan
ini ialah, bunga dan campurannya berupa dedaunan yang harum baunya direbus
dengan air sampai mendidih. Mulut belanga diberi bungkus kain dan di lubangi.
Pada lubang tersebut dipasangi saluran saluran bambu. Si gadis menyelimuti
tubuhnya engan kain setebal mungkin. Setelah si gadis mengeluarkan keringat dan
dianggap sudah memadai selimut dibuka. Setelah itu sigadis dimandikan untuk
membersikan sisa-sisa uap yang melekat pada badan si gadis. Sesudah itu selesailah acara
Pappasaungan.
9)
Pallattigiang
Pallatiang
dalam suku Mandar ada 3 yaitu pellattigiang secara adat, pelattigiang
adat oleh raja-raja, an pelattigiang secara pauli atau obat.
Pelaksanaan
pelattigiang waktunya ada 2 macam :
- Bersamaan dengan hari akad nikah
- Sehari sebelum akad nikah
Pelaksanaan
pellattigiang secara adat harus berbusana lengkap dengan keris di pinggang,
khusus pellattiang pauli (obat), busana dan kelengkapan lainnya bebas.
10)
Mambawa Pappadupa
Adalah
perkunjungan utusan pihak wanita ke rumah pihak laki-laki membawa “lomo
masarri atau manyak wangi” dan busana yang akan dipakai pada saat akad
nikah. Maksud utama dari padduppa ini adalah pernyataan kesiapan dan kesedian
calon mempelai wanita untuk dikawinkan. Ini dilakukan pada malam hari, menuju
esonya akan dinikahkan.
11)
Matanna Gau
Merupakan puncak dari segenap acara yang ada
dalam upacara perkawinan. Pada bagian ini dilakukan arak-arakan yang lebih
ramai sehari sebelumnya untuk mengantar calon mempelai pria kerumah calon
mempelai wanita.
Ada dua hal pokok yang diantar, yaitu calon mempelai
laki-laki dan mas kawin. Mas kawin dipantangkan bepisah dari calon mempelai
laki-laki sebelum di serahkan pada wali mempelai wanita. Untuk meramaikan
iring-iringan turut diantar barang-barang yang diatur sebagi berikut :
- Lomo atau minyak dimaksudkan agar acar berjalan dengan mulus dan jika ada kesulitan mudah penyelesaiannya.
- Gula atau manis-manisan, dimaksudkan agar pelaksanaan acara berjalan dengan baik.
- Kappu bunga-bungaan atau harum-haruman dimaksudkan agar kemulusan dan kebaikan pelaksanaan acara ini tersohor di segenap penjuru.
- Masi-masigi dimaksudkan agar calon pihak mempelai pria dan wanita senantiasa searah dan keseinginan, dan sekaligus menjadi tanda bahwa yang diarak ini beagama Islam.
- Bualoa artinya seperti pajak dari nilai kesepakatan. Ini dibagi-bagikan oleh adapt dalam upacara.
- Kelompok pengantar dari golongan wanita.
- Calon mempelai pria bersama mas kawin yang dibawa oleh seorang laki-laki kuat asmnai dan rohani serta dapat dipercaya.
- Kelompok pengantar laki-laki.
- Kelompok musik rebana.
Calon
pengantin pria bersama sorong dan pembawanya berada dibawah payung. Setelah
calon mempelai pria tiba dihalaman rumah calon pengantin wanita, dia dijemput
oleh seorang famili dari mempelai wanita. Sesampai di tangga diemput dengan
taburan beras ini dimaksudkan agar kedua suami-istri kelak dapat membangun
rumah tangga yang makmur, berbahagialahir dan batin.
Urutan
acara pada mata gau :
§
Pembacaan ayat suci Al-Qur’an
§ Pellattingiang berlangsung bersama-sama dengan
tarian
§ Penyerahan
mas kawin
§
Penyerahan perwalian dari wali calon mempelai wanita kepada orang yang akan
menikah
§
Pelaksanan ijab Kabul
§
Pengucapan ikrar mempelai pria terhadap mempelai wanita
§ Mappasinga’ang artinya melakukan pegangan sah yang
pertama.
§ Pemasangan
cincin kawin bergantian
§ Saling
menyuapi makan
§ Memohon doa restu ke-4 orang tua, dan sanak famili
yang lain dari ke-2 belah pihak
§ Kedua mempelai duduk bersama di pelaminan untuk
menerima tamu.
12) Nilipo
Merupakan
kunjungan keluarga pihak mempelai pria keruamh mempelai wanita. Ini
dilakukan paling tidak 3 kali berturut-turut setiap malam sesudah salat isya.
Ini dimaksudkan untuk mempererat hubungan
kekeluargaan antara kelurga kedua belah pihak. Kesempatan ini pula diadakan
acara ‘mappapangino’ yaitu mempelai laki-laki mencari, memburu dan menangkap
memoelai wanita.
13) Mando
E Bunga
Artinya
mandi bunga untuk menharumkan dan membersihkan diri dari hadas besar yang
mungkinterjadi sesudah akad nikah. Ini dilakukan bersama-sama kedua
mempelai dalam tempayan yang satu, untuk memasuki tahap berikutnya.
14) Marola
atau Nipemaliangngi
Marola
artinya mengikut atau rujuk ialah perkunjungan kedua mempelai kerumah mempelai
pria. Kegiatan ini dilakukan hanya untuk bersenang-senang, bermain musik dan
lain-lain. Kesempatan ini biasa orang tua pria melakukan pemberian
barang-barang berharga seperti tanah, perkebunan, rumah dan sebagainya sebagai
pernyataan syukur dan gembira terhadap terlaksananya perkawinan tersebut.
Contoh
pakaian adat perkawinan suku mandar :
E.Sistem
Kekerabatan
Suku
Mandar pada umumnya mengikuti kedua garis keturunan ayah dan ibu yaitu
bilateral. Suku Mandar biasanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang biasanya
bersekolah di daerah lain. Adapun keluarga luas di Mandar terkenal dengan
istilah Mesangana, kelurag luas yaitu famili-famili yang yang dekat an sudah
jauh tetapi masih ada hubungan keluarga. Status
dalam suku Mandar berbeda dengan suku Bugis, karena didaerah Bugis pada
umunya wanita yang memegang peran dalam peraturan rumah tangga. Suami sebagai
kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas keluarganya mempunyai tugas
tertentu, yaitu mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Sebaliknya di
Mandar, wanita tidak hanya mengurus rumah tangga, tetapi mereka aktif dalam mengurus
pencarian nafkah, mereka mempunyai prinsif hidup, yaitu Sibalipari yang artinya
sama-sama menderita (sependeriataan) seperti: kalau laki-lakinya menangkap
ikan, setelah sampai didarat tugas suami sudah dianggap selesai, maka untuk
penyelesaian selanjutnya adalah tugas istri terserah apakah ikan tersebut akan
dijual atau dimakan, dikeringkan, semua itu adalah tugas si istri. Didaerah
Bugis wanita juga turut mencari nafkah tetapi terbatas pada industri rumah,
kerajinan tangan, menenun anyaman dan lain-lain. Didaerah Mandar terkenal dengan
istilah hidup, Sirindo-rondo, Siamasei, dan Sianuang pa’mai. Sirondo-rondoi
maksudnya bekerjasama Bantu membantu dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan baik
yang ringan maupun yang berat. Jadi
dalam rumah tangga kedua suami istri begotong royong dalam membina keluarga.
Siamamasei, sianuang pa’mai ( sayang menyayangi, kasih mengasihi, gembira sama
gembira susah sama susah). Secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa
adanya kerjasama Bantu membantu baik yang bersifat materil maupun non materil.
F. Nilai Budaya atau Kesenian
Tanpa
hasil penelitian mendalam dan meluas atau tanpa membaca serta menyimak seluruh
hasil penelitian tentang seni dan budaya Mandar, mustahil dapat dilahirkan
karya tulis yang memadai. Namun, dalam batas makala pengantar diskusi atau
makala pemicu, catatan ini diharapkan dapat diterima sebagai umpan pancingan
untuk memancing hal-hal lain dalam kaitan dengan tema pertemuan. Beberapa
cabang seni Mandar dapat dikemukakan disini hanya semata-mata sebagai sample
dari sekian banyaknya jenis seni milik masyarakat secara turun-temurun.
Masihkah masyarakat Mandar ingin menghiduokan kembali nilai-nilai utama, yang
tetap relevan menembus saman dengan berbagai tantangan baru, sebelum di
berdayakan. Tanpa budaya yang sudah berdaya, mustahil bisa diberdayakan.
Buadaya tanpa daya tak bisa di berdayakan. Lebih parah lagi budaya yang belum
berdaya hendak di berdayakan oleh manusia yang tercabut dari akar budayanya
sendiri atau oleh masyarakat yang kurang secara kultural.
Irama
musik dalam lagu-lagu mandar secara spesifik mencerminkan setting laut. Deburan
ombak, riak gelombang yang dinamis, hempasan ombak dipantai dan geliat ombak
gelombang yang diterbangin angin lembut atau badai bisa dirasakan pada melodi
laut di dalam lagu-lagu Mandar yang cenderung eksotik, romantis, dan
sentimentil. Lagu-lagu Mandar sering dan selincah lagu-lagu Maluku, namun
sekaligus selembut irama agraris lagu-lagu Bugis meski tidak sedinamis
lagu-lagu Makassar yang terkesan agak cepat dan kekurangan kelembutan.
Bandingkan lagu “Tengga Tengga Lopi” dengan “Baturate Maribulang”.
Tari-tarian
mandar sebagaimana tari lain di daerah Sulsel pada mulanya berawal dari istana.
Namun, tari-tarian yang difungsikan sebagai bagian ritual dari kerajaan akhirnya
menjadi tari rakyat yang bukan hanya bertujuan memberikan rasa hormat pada raja
sebagai representasi dari dewata, melainkan menjadi tari rakyat yang memberi
hiburan yang sehat.
Tari
“Patadu” menampakkan suasana langit-bumi yang menyatu dalam gerak kaki para
penari yang tak terlepas dari bumi, dan pada saat yang sama pasangan tangan
mereka menari-nari bukan tanpa kebebasan, namun kebebasan dengan kendali nilai
budaya oleh gerakan yang menandakan adanya aturan yang harus ditaati. Musik
yang menggebu-gebu tak mampu memancing emosi para penari untuk ikut-ikutan
bergoyang menurut irama gendang. Para penari terkesan menari secara lemah
lembut menantang iramagendang yang penuh dengan geliat yang dinamis. Hal yang
sama bisa ditemukan pada tari “Pakarena” di dalam seni tari Bugis-Makassar.
2.Proses
Asimilasi dan Enkulturasi
Proses asimilasi yaitu dimana dua
kelompok yang berbeda kebudayaannya saling berbaur dan menyatu menjadi satu
kesatuan hingga menghasilkan kebudayaan baru yang berbeda dengan kebudayaan
aslinya. Adanya kebudayaan yang berbeda-beda pada suku mandar inilah yang
membuat kebudayaan tersebut bergabung menjadi satu sehingga terbentuknya budaya
yang baru di tengah masyarakat suku mandar, dan menghilangkan kebudayaan lama
dan bertahun-tahun sudah ada ditengah masyrakat suku mandar.
Proses enkulturasi adalah proses pengenalan norma yang berlaku di
masyarakat suku mandar.
3.
Kaitkan psikologi Lintas Budaya dari Segi Moral dan Kepribadian
Asli Bandung
BalasHapusJual Vimax Di Bandung
Obat Vimax Asli Bandung
Vimax Asli Canada Di Bandung
Obat Pembesar Penis Di Bandung
Suplement Pembesar Penis Permanen Di Bandung
http://jualvimaxlampung.com/
Jual Obat Hammer Asli Bandung
Hammer Of Thor Di Bandung
Hammer Of Thor Asli Di Bandung
Obat Hammer Of Thor Di Bandung
Agen Hammer Of Thor Asli Italu Di Bandung
Asli Bandung
BalasHapusJual Vimax Di Bandung
Obat Vimax Asli Bandung
Vimax Asli Canada Di Bandung
Obat Pembesar Penis Di Bandung
Suplement Pembesar Penis Permanen Di Bandung
http://jualvimaxlampung.com/
Jual Obat Hammer Asli Bandung
Hammer Of Thor Di Bandung
Hammer Of Thor Asli Di Bandung
Obat Hammer Of Thor Di Bandung
Agen Hammer Of Thor Asli Italu Di Bandung